Kamis, 31 Mei 2012

Hajriyanto Y.Thohari: Pentingnya Revitalisasi Pancasila


MPR RI


Hajriyanto Y Thohari
(Humas MPR RI)
Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y.Thohari mengatakan bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu kala sudah terbiasa dengan kemajemukan dan doktrin Bhinneka Tunggal Ika.  Ajaran-ajaran agama  dari dulu sampai kini akrab mengajarkan keterbukaan dan anti kekerasan.  Seperti yang apik dituturkan Mpu Tantular dalam Pupuh 139 Kakahwin Sutasoma.  Disebutkan bahwa bangsa Jawa yang hidup di tlatah Majapahit hidup berdampingan dengan guyub dan rukun, meski agama yang dipeluknya berbeda, yakni agama Budha dan Hindu Siwa.  Dalam akhir Pupuhnya, Mpu Tantular menyebutkan…Bhinneka Tunggal Ika ika tan hana dharma mangrwa (Berbeda-beda, namun hakikatnya sama, karena tidak ada kebenaran yang mendua).

“Lalu datanglah Islam. Islam terkenal  sebagai agama yang sangat menjunjung toleransi dan keterbukaan. Bahkan dalam ayat-ayat dalam Al quran itu ditegaskan secara terang benderang misalnya, bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Jadi agama itu bersifat sukarela, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.  Dalam doktrin keagamaan saja sejak dahulu sangat mengapresiasi doktrin kebhinekaaan,” ujarnya, dalam acara Kongres Pancasila dengan tema ‘Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Perspektif Bhinneka Tunggal Ika’ yang diadakan MPR RI, di Gedung Nusantara V, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (31/5).

Di samping agama, lanjutnya, Indonesia kaya dengan beragam suku, bahasa, adat yang hidup berdampingan.  Koeksistensi ini terekam dalam berbagai tutur, lontar, kitab-kitab, artefak arkeologis dan bangunan-bangunan monumental sejarah peninggalam nenek moyang.  Bukti-bukti tersebut mengabarkan kepada kita sekarang bahwa di Nusantara ini telah berlangsung pluralitas kehidupan yang damai dalam perbedaan.  Nampaknya letak geografis Indonesia memungkinkan terjadinya pertemuan peradaban yang majemuk tersebut.

“Seiring dengan perkembangan dan perubahan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya, dignitas kebhinnekaan menghadapi tantangan.  Pasca reformasi,  krisis ekonomi, krisis politik, radikalisme, terorisme, isu separatisme, dan kekerasan horizontal menantang seberepa kuat ikatan kebhinnekaan itu dapat tetap utuh tak terkoyak,” ujarnya.

Hajriyanto menambahkan, reformasi yang seharusnya membuahkan ruang publik yang dialogis, terbuka dan sepadan, justru dipenuhi oleh suara-suara yang memekakan telinga dan memaksakan kehendak dan tafsir tunggal.  Pada saat yang sama, akibat trauma politik, Pancasila juga mendapatkan gugatan.

“Oleh karena itu, pelbagai anomali sebagai resultan dari masa transisi menuju demokrasi yang belum selesai perlu segera dibereskan.  Revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah tugas utama untuk mengislahkan atau merestorasi kehidupan bangsa yang kini terancam oleh individu atau kelompok yang tidak menghargai keragaman,” tandasnya.